Taflis (Jatuh Bangkrut)
- Ikatan Pemuda Sapiens
- Mar 16, 2018
- 6 min read
Updated: Apr 22, 2018
Oleh: Shelly Naigelin
A. Pengertian Taflis
Al Imam Asy-Syaukani dalam kitab Nailul Authar mendefinisikan taflis sebagai utang seseorang yang menghabiskan seluruh hartanya hingga tidak ada yang tersisa sedikitpun baginya karena digunakan untuk membayar utang-utangnya. Sedangkan Imam Al Ghazali dalam kitab Al-Wajiz fi Fiqh Asy-Syafi’i menjelaskan bahwa taflis membahas tentang tuntutan seorang yang memberi utang kepada orang yang berutang untuk membayar utang-utangnya yang sudah melebihi jumlah hartanya sendiri karena sudah jatuh tempo pembayarannya.
Sementara itu, Ibnu Rusyd di dalam kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan dua makna taflis sebagai berikut:
1. Utang orang yang menghabiskan harta orang yang berutang, sehingga dalam hartanya tidak ada sesuatu yang dapat digunakan untuk membayar utang-utangnya.
2. Orang yang tidak memiliki harta sama sekali. Sedangkan muflis, adalah orang yang jumlah utangnya lebih besar daripada jumlah hartanya dan telah tiba saat pembayarannya. Dengan demikian, semua hartanya berada di bawah pengawasan orang-orang yang memberikan utang kepadanya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim Abi Bakr Ibn Abd al-Rahman dari Abu Hurairah r.a berkata:
مَنْ أَدْرَكَ مَالَهُ بِعَيْنِهِ عِنْدَ رَجُلٍ قَدْ أَفْلَسَ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ مِنْ غَيْرِهِ
“Siapa yang mendapati hartanya yang asli (belum berubah) pada orang yang bangkrut maka ia lebih berhak atas barang itu daripada yang lainnya”
Dan pada hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad:
عَنِ الحَسَنِ عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ ِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : مَنْ وَجَدَ مَتَاعَهُ عِنْدَ مُفْلِسٍ بِعَيْنِهِ فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ (رواه أحمد)
“Dari Al-Hasan, dari Samurah, dari Nabi SAW, beliau bersabda “Barangsiapa mendapati barangnya masih utuh (seperti semula) pada seseorang yang bangkrut, maka ia lebih berhak terhadapnya(HR.Ahmad).
Semakin dikuatkan oleh hadits shahih berikut:
حَدَّثَنِي يَحْيَى عَنْ مَالِكٍ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَبِي بَكْرٍ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ الحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : أَيُّمَا رَجُلٍ بَاعَ مَتَاعًا فَأَفْلَسَ الذِي ابْتَاعَهُ مِنْهُ، وَلَمْ يَقْبِضْ الذِي بَاعَهُ مِنْ ثَمَنِهِ شَيْئًا، فَوَجَدَهُ بِعَيْنِهِ، فَهُوَ أَحَقُّ بِهِ، وَإِنْ مَاتَ الَّذِي ابْتَاعَهُ، فَصَاحِبُ المتَاعِ فِيْهِ أُسْوَةُ الغُرَمَاءِ.
“Yahya meriwayatkan kepadaku, dari Malik, dari Ibnu Syihab dari Abu Bakr bin Abdurrahman bin Al Harits bin Hisyam, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Lelaki manapun yang menjual barang, kemudian orang yang membeli darinya bangkrut, sedangkan orang yang menjual barang itu belum mendapatkan uangnya sedikitpun, lalu ia menemukan adanya barang pada si pembeli, maka ia (si penjual) sangat berhak terhadap barang tersebut. Dan jika orang yang membeli itu meninggal, maka pemilik barang (dalam hal itu) menjadi panutan bagi orang-orang yang memiliki utang”
Hadits tersebut menunjukkan bahwa yang paling berhak untuk menyita harta yang ada pada orang yang bangkrut adalah yang mengutangkan.
Imam Malik menjelaskan tentang hal tersebut, tentang seseorang yang menjual barangnya kepada orang lain, kemudian si pembeli bangkrut, maka jika si penjual menemukan barangnya sendiri masih ada padanya, maka ia boleh mengambilnya. Untuk lebih jelasnya dapat diambil sebuah contoh: Ahmad utang satu setel meja dari Amir, dan Ahmad meminjam uang sejumlah Rp.500.000,00 kepada Jamil. Di kemudian hari, Ahmad jatuh bangkrut. Ketika itu Ahmad ditagih oleh Amir dan Jamil tetapi ia (Ahmad) tidak punya uang untuk membayarnya, sementara satu setel meja masih ada pada Ahmad (orang yang bangkrut). Maka yang lebih berhak menyita satu setel meja itu adalah Amir daripada Jamil.
Imam Malik menambahkan, jika si pembeli telah menjual sebagian barang dan memisahkannya, maka pemilik barang lebih berhak dengan barangnya tersebut daripada pihak peminjam. Barang yang telah dipisahkan oleh pembeli tidak dapat menghalangi hak penjual untuk mengambil barang yang ia temukan kembali. Jika ia menuntut uang dari pembeli, maka ia boleh mengembalikannya dan menahan barang yang ia temukan. Dan jika itu terjadi selama tidak menemukan pemberi utang baru, maka barang tersebut dapat menjadi miliknya.
B. Pembayaran Utang dan Penyitaan Harta Muflis
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, bahwa Ibnu Rusyd menyebutkan dua definisi taflis,sehingga para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya yaitu :taflis dalam definisi yang pertama (yaitu apabila menurut penguasa telah tampak kebangkrutannya).
Para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut, apakah para penguasa dibolehkan untuk melarangnya membelanjakan hartanya hingga ia menjualnya untuk melunasi utang tersebut dan membagikannya kepada orang-orang yang berpiutang sesuai dengan persentase piutang mereka atau tidak boleh melakukan hal tersebut? Melainkan menahannya hingga ia menyerahkan kepada mereka seluruh hartanya sesuai dengan persentase yang telah disepakati atau untuk orang yang telah disepakati di antara mereka.
Dan perselisihan ini sendiri dapat digambarkan pada orang yang memiliki harta yang dapat melunasi utangnya, kemudian orang yang berutang tersebut menolak untuk membagikan hasilnya kepada orang yang berpiutang, apakah penguasa boleh menjualnya kemudian membagikan hasilnya kepada mereka ataukan ia menahannya hingga ia memberikan dengan tangannya apa yang wajib atasnya.
Mengenai hal tersebut jumhur ulama berpendapat bahwa penguasa harus menjual harta tersebut kemudian membagikan hasilnya kepada para piutang apabila dalam waktu yang lama, atau menghukuminya dengan suatu kebangkrutan da apabila hartanya tidak cukup untuk membayar utang-utangnya, maka penguasa melarangnya untuk membelanjakan hartanya. Hal tersebut merupakan pendapat Imam Malik dan Imam Syafi’i, sedangkan Imam Abu Hanifah dan sejumlah penduduk Iran berpendapat lain.
Dalil yang digunakan Imam Malik dan Imam Syafi’i adalah hadits Mu’adz bin Jabal.
أَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ الْحَارِثِ الأَصْبَهَانِىُّ أَخْبَرَنَا أَبُو مُحَمَّدِ بْنُ حَيَّانَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ زَكَرِيَّا حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ عَنْ يُونُسَ بْنِ يَزِيدَ عَنِ الزُّهْرِىِّ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ كَعْبٍ : أَنَّ مُعَاذَ بْنَ جَبَلٍ وَهُوَ أَحَدُ قَوْمَهِ مِنْ بَنِى سَلَمَةَ كَثُرَ دَيْنُهُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَزِدْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- غُرَمَاءَهُ عَلَى أَنْ خَلَعَ لَهُمْ مَالَهُ.
“...Yunus bin Yazid dari Az-Zuhri berkata : Abdurrahman ibn Ka’b menceritakan kepadaku : Bahwa Mu’adz bin Jabal adalah salah satu kaumnya dari Bani Salamah yang utangnya telah banyak pada zaman Rasulullah SAW, maka hartanya tidak mencukupi untuk melunasinya kepada orang yang berpiutang”
Serta hadits Abu Sa’id al-Khudry:
أَنَّ رَجُلًا أُصِيْبَ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِى ثِمَارِ ابْتَاعِهَا فَكَثُرَ دَيْنُهُ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: تَصَدَّقُوْا عَلَيْهِ فَتَصَدَّقَ النَّاسُ عَلَيْهِ فَلَمْ يَبْلُغْ ذَلِكَ وَفَاءً بِدَيْنِهِ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِغُرَمَاءِهِ خُذُوا مَا وَجَدْتُمْ وَلَيْسَ لَكُمْ إِلَّا ذ
“Bahwa seseorang telah tertimpa musibah pada zaman Rasulullah SAW dalam buah yang telah ia beli sehingga utangnya menjadi banyak, kemudian Rasulullah SAW bersabda: “Bersedekahlah kalian kepadanya”, kemudian orang-orang bersedekah kepadanya namun hal tersebut tidak cukup untuk membayar utangnya, kemudian Rasulullah SAW bersabda “Ambillah apa yang kalian dapatkan dan tidak ada lagi untuk kalian kecuali hal tersebut”.
Hadits Umar mengenai keputusannya terhadap seorang laki-laki yang pailit dengan penahanan dirinya, dan perkataannya mengenai hal tersebut,
“Adapun selanjutnya, sesungguhnya Usaifi’ (Usaifi’ Juhainah) telah rela dengan utangnya serta amanahnya untuk dikatakan ia telah mendahului orang yang telah berhaji, dan ia telah membeli sesuatu secara kredit untuk menghindari membayar secara tunai kemudian setelah itu ia ditimpa kehancuran(pailit), barangsiapa yang memiliki barang padanya maka hendaknya ia mendatangi kami.
Adapun hujjah atau dalil yang dipakai oleh kelompok kedua yang berpendapat dengan penahanan sampai menunaikan kewajibannya dan meninggal dalam keadaan tertahan, kemudian hakim saat itu menjual hartanya dan membagikan hasilnya kepada para pemilik utang adalah hadits Jabir bin Abdullah ketika bapaknya mati syahid di perang Uhud dan ia memiliki utang, saat pemilik piutang menuntutnya.
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ أَخْبَرَنَا يُونُسُ، عَنْ الزُّهْرِيِّ قَالَ حَدَّثَنِي ابْنُ كَعْبِ بْنِ مَالِكٍ أَنَّ جَابِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَاهُ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ شَهِيدًا وَعَلَيْهِ دَيْنٌ فَاشْتَدَّ الْغُرَمَاءُ فِي حُقُوقِهِمْ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلَهُمْ أَنْ يَقْبَلُوا تَمْرَ حَائِطِي وَيُحَلِّلُوا أَبِي فَأَبَوْا فَلَمْ يُعْطِهِمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَائِطِي وَقَالَ سَنَغْدُو عَلَيْكَ فَغَدَا عَلَيْنَا حِينَ أَصْبَحَ فَطَافَ فِي النَّخْلِ وَدَعَا فِي ثَمَرِهَا بِالْبَرَكَةِ فَجَدَدْتُهَا فَقَضَيْتُهُمْ وَبَقِيَ لَنَا مِنْ تَمْرِهَا
“Dari Az-Zuhri berkata: Ibnu Ka’ab bin Malik telah menceritakan kepadaku bahwa Jabir bin Abdullah r.a mengabarkan bahwa ayahnya telah mati syahid dan ia mempunyai utang dan orang-orang yang memberi utang itu menagihnya, lalu aku mendatangi Rasulullah SAW, lalu ia meminta kepada mereka untuk menerima kebun dariku dan membebaskan ayahku dari utang tersebut, namun mereka menolak maka Rasulullah tidak memberikan kebunku kepada mereka, beliau bersabda: kami akan datang kepadamu, Insyaallah”, Jabir berkata “kemudian beliau mendatangi kami pagi hari, lalu beliau mengelilingi pohon kurma dan mendoakan buahnya agar mendapatkan berkah kemudian kami memanennya dan membayar hak-hak mereka dari buah tersebut dan masih ada sisa dari buah tersebut ”.
Sedangkan orang-orang atau lembaga yang berhak menyita harta muflis adalah:
1. Orang yang mengutangkan, sebab dialah yang yang paling berhak atas barang-barangnya. Pemiutang berhak menagih penghutang yang tidak tetap pada kemelaratannya, selagi penghutang tidak memilih ditahan; kalau memilih ditahan, maka dilakukan penahanan atasnya; biaya penahanan maupun penagih menjadi tanggungan penghutang.
2. Juru sita bila persoalan ini telah sampai ke pengadilan. Hakim (pengadilan) berhak memaksa orang yang enggan untuk membayar kewajibannya, baik dengan cara menahannya atau bentuk ta’zir yang lain.
C. Larangan Penggunaan Harta bagi Muflis
Tiga imam mazhab, yaitu Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Hambali sepakat atas larangan penggunaan harta bagi orang yang pailit (muflis) ketika diminta oleh orang yang berpiutang dan ketika dililit utang. Hal itu menjadi hak hakim. Hakim berhak mencegah muflismenggunakan hartanya agar tidak merugikan pemberi utang kepadanya. Hakim pun boleh menjual harta bendanya jika muflis itu tidak menjualnya sendiri atau enggan membaginya kepada para pemberi utang dengan sebanding.
Imam Hanafi berpendapat bahwa orang pailit tidak boleh membelanjakan hartanya, tetapi harus dipenjarakan hingga ia membayar utangnya. Jika ia memiliki harta benda, hakim tidak boleh menggunakan hartanya atau menjualnya, kecuali jika harta itu satu dirham, sedangkan jumlah hartanya adalah beberapa dirham. Jika demikian, hakim boleh memegangnya tanpa menunggu perintah dari muflis. Jika utangnya adalah beberapa dirham, sedangkan hartanya adalah beberapa dinar, hakim boleh menjualnya untuk membayarkan utangnya.
Para imam mazhab berbeda pendapat dalam masalah penggunaan muflis terhadap hartanya sesudah adanya larangan hakim untuk menggunakannya.
a. Imam Hanafi berpendapat bahwa orang tersebut tidak dilarang untuk menggunakan hartanya. Oleh karena itu, jika hakim memutuskanhajr(larangan menggunakan harta), keputusan tersebut tidak sah sebelum ditetapkan lagi oleh hakim kedua. Kalau pelarangan penggunaan harta tidak dibenarkan, sah lah penggunaan seluruhnya, baik berupa perbuatan yang menerima fasakhseperti pernikahan, maupun tindakan yang lain.
b. Imam Maliki berpendapat bahwamuflis tidak boleh menggunakan hartanya, baik dengan jalan menjual, menghibahkan, maupun memerdekakan.
c. Imam Syafi’i mempunyai dua pendapat, salah satunya seperti pendapat Imam Maliki diatas. Dan yang kedua adalah penggunaannya sah tetapi ditangguhkan. Jika dapat diselesaikan semua utang tanpa mengganggu penggunaannya, maka penggunaan-penggunaan tersebut dibatalkan, seperti hibah, menjual dan memerdekakan.
d. Imam Hambali berpendapat penggunaannya tidak sah, kecuali memerdekakan budak.

Comments